"Jang?....Jang?.... Ujang?..", Aku dibangunkan oleh suara seseorang yang memanggilku. Dari suaranya sih, kayanya Bapak-bapak. Pas buka mata, bener aja. Ada seorang Pria yang berdiri di depanku, "Bangun, Jang. Jangan tiduran disitu atuh", mukanya kayak nggak asing....
"Pak Gandasasmita?", tanyaku,
"Panggil aja Pak Sasmi. Ujang téh... yang manggil Saya tadi ya?", Oke, Aku ketemu sama Pak Sasmi. Apa ini artinya....
"Saya dimana Pak? Saya téh....udah meninggal gitu?",
"Oh, belum atuh, Jang. Ujang sengaja Saya panggil kesini. Ada yang pengen Saya kasih tau sama Kamu",
"Mmm....apa gitu Pak?",
".... Semuanya....",
Dulu, Saya adalah seorang seniman Sunda yang tersohor di kampung ini. Saya dikenal sebagai seniman Debus. Orang-orang pasti nunggu atraksi Saya kalo ada acara adat tahunan.
Saya bisa begini, karena guru Saya. Namanya Ki Dalang Ahmad. Sebenernya mah, Saya dari kecil diasuh sama beliau. Karena orang tua Saya dua-duanya meninggal waktu ada banjir rob di kampung dulu. Ki Dalang nemuin Saya, terus Saya dibawa ke padepokan. Selama bertahun-tahun, Saya belajar sama beliau. Cuma Saya, satu-satunya murid Ki Dalang waktu itu. Seiring berjalannya waktu, mulai berdatangan murid-murid yang baru. Dari seumuran anak SMP sampai SD. Waktu itu, Saya udah seumuran anak SMA. Saya dianggap sebagai Kakak buat mereka, karena mereka semua adalah anak-anak yatim-piatu yang Ki Dalang temuin.
Selama bertahun-tahun, Saya ajari adik-adik seperguruan Saya sampai mereka bisa. Satu waktu, Aki bilang kalau kita semua udah siap. Saat itu, kami belum paham apa maksudnya Aki. Keesokan harinya, kami datang ke acara adat kampung tahunan. Bukan sebagai penonton, tapi sebagai pengisi acara. Kita benar-benar panik, karena belum ada persiapan sama sekali. Aki berpesan untuk menampilkan yang terbaik seperti saat latihan. Sebelum kami tampil, Aki meminta kami untuk menutup mata. Beberapa saat kemudian, kami membuka mata dan langsung menuju pementasan.
Aneh sekali, tidak ada satupun dari kami yang melihat penonton. Tapi, kami masih dengar suara tepuk tangan dan sorakan penonton. Kami bingung. Tapi, acara harus berlangsung. Kami lakukan apa yang kami lakukan saat latihan, bedanya kami lakukan dalam sekali percobaan. Diiringi musik tradisional dan alunan gamelan kami beraksi. Setelah selesai, suara tepukan tangan dan sorakan penonton kembali terdengar. Kami membungkuk tanda penghormatan. Sekarang, barulah kami melihat para penonton itu. Memang aneh, tapi rasa senang kami mengalahkan semua kebingungan yang kami pikirkan.
Selama 5 tahun berturut-turut, kami menjadi acara utama (maksudnya main event) di acara adat kampung. Semua orang mengagumi kami setelah penampilan kami yang pertama kalinya.
Di tahun keenam, kami dijadwalkan untuk berkolaborasi dengan padepokan tari di kampung. Di padepokan itu, murid-muridnya kebanyakan perempuan. Beberapa diantara kami nampak tidak fokus saat latihan. Termasuk Saya. Ada seorang murid yang akan menjadi sinden di acara adat nanti. Dia adalah perempuan tercantik yang pernah Saya lihat. Meski latihan kami bisa dibilang kurang baik, tetapi penampilan kita benar-benar mengundang decak kagum penonton. Dan setelah itu, Aku mulai mendekati perempuan itu. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah... istri Saya. Marsinah. Atau biasa dipanggil Inah.
Selama 2 tahun, Saya sama Inah menjalin hubungan dan sama-sama punya kecocokan, kita berdua memutuskan untuk membangun rumah tangga bersama. Lagian, emang udah waktunya Saya buat menikah juga.
Saya minta restu sama Aki. Tapi, beliau menolak. Beliau beralasan kalau misalnya Saya nikah, otomatis Saya bakalan nggak punya waktu buat ngajar adik-adik seperguruan Saya di padepokan. Saya yakinkan Aki kalau Saya pasti menyempatkan waktu untuk mengajar di padepokan. Sayangnya, Aki keukeuh nolak. Saya gak bisa ngebatalin pernikahan Saya. Meski Aki nggak setuju, Saya teguh sama pendirian Saya. Akhirnya, Saya menikah dengan Inah.
"Oh...gitu awalnya Pak?", tanyaku,
"Muhun, Jang (Iya, Nak). Kitu caritana téh (Gitu ceritanya). Awal mula kisah hidup Saya", kata Pak Sasmi,
"Oh enya atuh (Oh iya deh). Terus gimana cerita soal keluarga Bapak?",
"Teraskeun nya? (Terusin ya?)", Aku ngangguk.....
Belum setahun pernikahan, Inah mengandung anak pertama kami. Sesuai janji Saya juga, Saya masih sering ngajar di padepokan. Satu waktu, Aki ngajak Saya buat ngobrol berdua.
"Sasmi.... dangukeun, yeuh. Aki....moal salilana aya waé di dunya. Tos waktosna....Aki mios ka dunya nu séjén. Ayeuna, Aki pesen.....jaga rayi anjeun. Omat, kudu soméah ka aranjeunna. Ti ayeuna, anjeun...anu mingpin padepokan ieu. Kusabab, Aki mah moal tiasa deui. Aki mah...tos waktosna.....", disitulah saat-saat terakhirnya Aki. Aki meninggal dunia.
Sejak saat itu, Saya yang megang padepokan Debus Ki Dalang. Semenjak dipegang sama Saya, gak cuma Debus yang Saya ajarin. Kuda lumping, Saya ajarin juga. Murid-muridnya pun jumlahnya bertambah banyak. Padepokan yang dulunya cuma menerima murid anak-anak usia 7-15 tahun, sekarang menerima murid dari 6-20 tahun. Kenapa Saya tidak menerima murid berusia di atas 20 tahun, Aki berpesan, takutnya ada yang menyalahgunakan ilmu yang dipelajari untuk berbuat kejahatan. Meskipun usia 15-20 tahun adalah usia yang paling rawan penyalahgunaan ilmu, tapi di kampung anak-anak berumur segitu adalah usia baligh. Artinya, mereka mulai bisa membedakan yang baik dan yang buruk.
Tak lama, anak pertama Saya lahir. Seorang anak laki-laki yang akan meneruskan perjuangan Saya. Kami beri nama....
Sukanda Gandasasmita...
Aku perkenalkan Enda dengan dunia Debus dan Kuda lumping. Barulah di usia yang ketiga, Dia mulai ikut berlatih bersama Saya dan murid-murid Saya. Disaat Enda memulai latihan pertamanya, Saya dapat kabar gembira....
Inah hamil lagi.
Lalu, lahirlah putri pertama Saya, Nani Wijayanti Marsinah. Selang 3 tahun selanjutnya, lahirlah putri kami lainnya, Kinanti Ajeng Marsinah. 3 tahun berikutnya, lahirlah Dodo Putra Gandasasmita. Dan terakhir, 3 tahun setelah kelahiran Dodo, pertama kalinya Inah melahirkan anak kembar laki-laki sama perempuan. Perempuan yang lahir duluan, sepuluh menit kemudian, yang laki-laki. Yang perempuan Saya beri nama Sekar Arum Putri Marsinah. Yang laki-laki Saya beri nama Seno Aji Putra Gandasasmita.
"Naha (Kenapa) ada 6 Pak?",
"6? Emang anak Saya mah ada 6",
"Tapi.... bukannya ada 7 Pak?", Aku yakin banget waktu pertama ke rumah itu ada 7 anak. Ada 1 anak laki-laki yang jadi anak bungsu dari keluarga Gandasasmita. Aku lihat anak itu waktu Aku disekap di ruang bawah tanah. Dia cuma diem aja di tangga sambil berdiri. Mukanya datar... kulitnya agak pucat. Tiap kali Dia pergi, perginya gak pernah ketahuan saking cepetnya. Pas Aku tanya soal anak ketujuh, Pak Sasmi sempet mikir. Tiba-tiba, Aku bisa ngerasain perasaan bencinya. Dia bilang,
"Disinilah awal bencana pada keluarga Saya....",
Terus terang, waktu Nani lahir, Saya merasa....agak aneh sebenernya. Tampangnya jauh dari Saya maupun Inah. Begitu juga dengan Dodo dan Sekar. Waktu Inah hamil juga, Inah jadi agak galak sifatnya. Inah tidak pernah seperti itu. Inah yang Saya kenal, orangnya lemah lembut, baik hati, sopan dan penyayang. Saat hamil si kembar, sifat Inah berubah-ubah. Kadang biasa saja, kadang jadi galak. Saya tidak mengerti kenapa bisa begitu.
Di padepokan, tidak biasanya ada salah seorang murid Saya yang mengalami kerasukan. Selama Saya disini, belum pernah terjadi hal seperti ini. Saya panggil Pak Ustadz yang biasa menjadi penghulu di setiap pernikahan yang ada di kampung. Beruntung, semua bisa terkendali.
Semenjak kejadian itu, makin sedikit murid-murid Saya yang datang latihan. Mereka dilarang oleh orang tua mereka karena takut kerasukan. Perlahan-lahan, padepokan mulai sepi dan tidak ada regenerasinya. Bahkan adik-adik seperguruan Saya dulu, satu persatu dari mereka keluar dari padepokan. Mereka juga takut dengan kejadian kerasukan itu. Akhirnya, padepokan Debus Ki Dalang dibubarkan. Setelah 20 tahun berturut-turut, pementasan Debus selalu menjadi acara utama di acara adat kampung. Pasca kejadian itu, persepsi warga kampung terhadap Debus berubah. Dari kagum menjadi takut. Di tahun ke-21, panitia acara adat tidak memasukkan Debus di daftar acara. Disitulah akhir dari eksistensi Debus di kampung Saya.
Bertahun-tahun lamanya padepokan Ki Dalang kosong. Saya pun sibuk mengurusi keluarga di rumah, bertani, beternak dan berkebun di rumah. Tak terasa, anak-anak Saya sudah besar. Enda sudah mulai mendapatkan pekerjaan, sedangkan adik-adiknya sudah bersekolah. Dengan begitu, Saya ada penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Satu waktu, Saya sedang merapikan padepokan bersama Inah. Saya sudah mengajukan permohonan kepada Pak RT untuk merubah padepokan menjadi mesjid yang baru. Karena waktu itu cuma ada musholla saja di kampung. Diam-diam Inah memperhatikan Saya,
"Kunaon atuh Abah? (Kenapa Abah?) Jiga nu sedih kitu? (Kok sedih gitu?)", Saya benar-benar sedih ketika harus menutup padepokan untuk selama-lamanya. Saya sedih karena tidak bisa menjalankan amanah Aki,
"...Hhhh....sedih atuh Emak. Abah sedih...sabab teu tiasa ngajalankeun amanah Aki (Abah sedih...sebab nggak bisa menjalankan amanah Aki). Abah sedih kedah ninggalkeun émutan Abah dina padepokan ieu (Abah sedih harus ninggalin kenangan/memori/ingatan Abah di padepokan ini). Seueur kenangan nu aya dina padepokan ieu (Banyak kenangan yang ada disini). Abah ngarasa.....asa cikénéh Abah diasuh ti leuleutik ku Aki (Rasanya.....kayak baru aja Abah dirawat dari kecil sama Aki). Kiwari mah tos teu aya Aki.....teu aya rayi......(Sekarang mah udah gak ada Aki.....nggak ada adik......)", nggak sadar air mata Saya mulai menetes. Inah mencoba untuk menenangkan Saya,
"Keun wios...Badé kumaha ogé, Aki tangtu bangga ka Abah (Nggak apa-apa...Mau gimana juga, Aki pasti bangga sama Abah). Buktina, Abah janten jalmi anu di segani ku para wargi (Buktinya, Abah jadi orang yang paling disegani oleh warga). Abah téh tos janten jalmi hadé (Abah udah jadi orang hebat). Janten conto anu saé kanggo nu séjén kusabab sipatna Abah anu saé ogé (Jadi contoh yang baik buat yang lain soalnya sifat Abah baik). Aki tangtu bungah ningali Abah kieu diditu (Aki pasti bangga ngeliat Abah begini di alam sana)", Saya sebenarnya masih sedih. Tapi, kata-kata terakhir Inah menyenangkan hati Saya.
Tak terasa, padepokan sudah hampir selesai dibereskan. Saya tinggal membereskan kamar Aki. Ada banyak kertas-kertas manuskrip dan perkamen kuno. Saat Saya baca, tulisannya bukan tulisan yang Saya pahami. Sampai sekarang, Saya masih tidak tau apa isinya. Lalu, Saya menemukan sesuatu...
Sebuah perkamen dengan gambar satanis di dalamnya. Saya kaget, Aki selalu mengajarkan ilmu agama juga selain ilmu kebal....
"Kebanyakan Debus yang Saya tau kan, orangnya emang kerasukan, Pak?", tanyaku,
"Pertanyaannya bagus sekali. Saat atraksi, kami sepenuhnya sadar dengan apa yang kami lakukan. Saat disuruh makan beling (pecahan kaca) juga kami sebenarnya benar-benar takut. Tapi, Aki meyakinkan kami untuk berani. Dengan bantuan do'a Aki, tidak ada sedikitpun rasa sakit yang kami rasakan. Dan selama bertahun-tahun, kami baik-baik saja", jelas Pak Sasmi,
"Oh gitu, Pak. Berarti....ini mah beda dari yang lain ya?",
"Muhun Jang", ya, biasanya sih kalo Debus sih, orangnya 'dimasukin' dulu. Jadi, mereka gak sadar kalo mereka udah ngebacok diri sendiri atau makan beling misalnya. Tapi ini, aliran Debus Pak Sasmi cuma dikasih ilmu kebal aja, tanpa dimasukkan arwah dulu,
"Oh ya, Pak. Soal perkamen satanis yang Bapak temuin.....itu...Bapak tau darimana kalo itu gambar satanis?", Aku penasaran sama perkamen itu,
"Saya tau itu simbol satanis dari Pak Ustadz. Bintang terbalik, kepala kambing sama angka 666", Aku mencoba untuk berpikir positif,
"Mmm....bisa jadi itu mah penangkal Pak. Yang Saya tau, simbol satanis yang digambar ada yang berupa penangkal atau....",
"Nggak Jang, masalahna mah, éta tulisanana pake bahasa asing. Hurup Latin sama simbol matematika gitu",
"Simbol matematika?",
"He'eh. Saya inget simbol-simbol itu téh dari buku pelajaran anak Saya", wah, kalau begitu benar kata Pak Sasmi. Itu bukan penangkal. Bisa aja........
Itu kontrak perjanjian dengan setan....
Bagaimana Aku bisa tau? Kebanyakan film-film Hollywood seperti itu. Mungkin kalian mikir kalo itu fiksi, ya kan? Faktanya, Aku pernah iseng pergi ke dimensi lain dan melihat langsung kertas perjanjian milik iblis dari salah seorang korban perjanjian tersebut. Arwah itu minta supaya bisa dibebaskan dari ikatan setan itu. Dan isinya ada simbol satanis, tulisan latin dan simbol matematika. Yang umum Aku lihat itu, delta, simbol x di aljabar dan omega. Sebenarnya, ada sih penjelasannya di buku demonologi yang Aku baca. Tapi kayanya, terlalu rumit buat dijelasin ke orang-orang awam. Pasti dikira musyrik, penyembah setan, dsb. Hhh....dasar....
Saya masukkan perkamen satanis itu ke kardus buat sampah. Lalu Saya teruskan proses pembersihannya. Ada satu kertas manuskrip yang menarik perhatian Saya. Saat Saya baca, isinya adalah tembang tradisional yang biasa Inah baca buat menidurkan anak-anak dulu. Saya bawa kertas itu supaya jika Saya punya cucu nanti, mereka bisa tidur nyenyak dengan tembang itu.
"Atos, Bah?", tanya Inah setelah Saya selesai membereskan kamar Aki,
"Muhun. Ieu runtahna. Di piceun ka pengker wéh Mak", Saya minta istri Saya buat buang sampah nya ke belakang padepokan. Saya teruskan proses pembersihan yang belum selesai.
Setelah itu, Saya datangi tempat latihan Saya dulu. Tempatnya ada di dalam ruangan. Di tengah ruangan ada foto Ki Dalang yang terpampang disana,
"Hhh....Aki....", ucap Saya sedih....
"Keur naon sedih ka Aki....(Ngapain kamu nangisin Aki....)", Saya dengar suara Aki,
"Aki?!",
"Malik ka pengker (Balik belakang)", Saya balik badan.....
Aki ada di depan mata Saya. Saya bingung, apakah Saya berhalusinasi atau tidak,
"Ieu téh......Aki? (Ini tuh......Aki?)",
"Muhun, Sasmi. Ieu Aki....", Saya deketin Aki buat mastiin kalo itu bener-bener Aki. Saya peluk beliau. Dan ternyata benar.....
Aki bangkit dari kematian...
"Hahaha....Aki....ieu nyaanan Aki... (Hahaha....Aki....ieu beneran Aki...)", ucap Saya bahagia.....
Namun...
Aki mendorong Saya sampai Saya jatuh,
"Aki.....naha Aki kitu ka Abdi? (Aki.....kok Aki gitu ke Abdi?)",
"AING teu butuh kanyaah SIA!! (SAYA gak butuh kebaikan KAMU!!)", Saya bener-bener nggak nyangka sama ucapan Aki, "Tujuan Aing kadieu saukur nepikeun murkana AING ka SIA! (Tujuan Saya kesini cuma untuk ngungkapin rasa kesel SAYA ke KAMU!)",
"Hampura Aki......Sasmi teu tiasa...(Maaf Aki......Sasmi gak bisa...)",
"CEKAP! AING TEU BUTUH ALESAN SIA! Timimiti Anjeun ménta restu ka Aki, AING teu sudi masihan restu ka SIA! Tingali ayeuna! Padepokan ieu geus EWEUH!! ÉTA AKIBATNA NGALAWAN AING!! (CUKUP! SAYA GAK BUTUH ALASAN KAMU! Dari awal Kamu minta restu sama Aki, SAYA gak sudi ngasih restu KAMU! Liat sekarang! Padepokan ini udah GAK ADA! ITU AKIBATNYA NGELAWAN SAYA!!)", Saya bingung harus gimana. Saya benar-benar sedih karena sudah mengecewakan Aki, "Pokona mah, AING embung nyaho. AING rék nyokot KABÉH anu manéh boga (Pokonya, SAYA gak mau tau. SAYA bakalan ambil SEMUA yang kamu punya)", sebagai seorang kepala keluarga, Saya tidak terima,
"Teu bisa kitu! Aki teu boga hak ngaganggu keluarga Abdi. Keluarga Abdi, tanggung jawab ABDI!! (Nggak bisa gitu! Aki nggak punya hak mengganggu keluarga Saya. Keluarga Saya, tanggung jawab SAYA!!)",
"HAHAHAHAHAHA!!!! AING teu percanten (SAYA gak percaya). Buktina, SIA teu bisa nulungan pamajikan sorangan... (Buktinya, KAMU gak bisa nolong istri kamu sendiri...)", Saya bingung dengan ucapan Aki,
"Maksudna?",
"Téangan pamajikan SIA di pengker! (Cari istri KAMU di belakang!)", Saya berlari ke belakang padepokan. Saya panggil Inah, tapi Dia tidak menyahut. Saya lihat ada tumpukan sampah disana. Waktu Saya buka tumpukan itu....
Inah sudah tidak bernyawa...
Seseorang sudah menggorok lehernya...
Di tengah tangisan Saya, Aki muncul tiba-tiba dari belakang,
"HEHEHEHAHAHAHAHA!!!! TINGALI AYEUNA!! PAMAJIKAN SIA GEUS MAOT!! NU KITU NGARANNA KEPALA KELUARGA, HAH?!! NGURUS KELUARGA SORANGAN GÉ TEU BALÉG! KOMO NGURUS PADEPOKAN! (LIHAT SEKARANG!! ISTRI KAMU UDAH MATI!! APA ITU YANG NAMANYA KEPALA KELUARGA, HAH?!! NGURUS KELUARGA AJA GAK BECUS! APALAGI NGURUS PADEPOKAN!)", Saya sedih bercampur kesal,
"Aki....nu ngalakukeun ieu?....(Aki....yang ngelakuin ini?....)", Saya balik badan dengan air mata mengalir, "AKI MAÉHAN PAMAJIKAN URANG, LAIN?! (AKI NGEBUNUH ISTRI SAYA, KAN?!)",
"Hehehehahahahaha...........Émang Aing nu ngalakukeun éta (Emang Saya yang ngebunuh)", Saya kaget bercampur nggak nyangka. Sosok Ki Dalang Ahmad yang bijak dan penyayang berubah menjadi seorang yang jahat dan kejam,
"NAHA MANÉH NGALAKUKEUN IEU??!!!! PAMAJIKAN URANG TEU SALAH NANAON!!!! (KENAPA KAMU NGELAKUIN INI??!!!! ISTRI SAYA GAK SALAH APA-APA!!!!)",
"Hehehe.........Aya alesanana AING kieu.... (Ada alasannya SAYA begini....)"
"Gimana alesannya Pak? Kok bisa berubah 180° gitu?", tanyaku,
"Jauh sebelum Aki menemukan Saya, Aki adalah seorang budak iblis. Beliau mencari jiwa anak-anak untuk dijadikan tumbal. Seumur hidupnya, beliau menunggu saat yang tepat untuk mengambil jiwa itu. Saat beliau meninggal, beliau benar-benar belum meninggal. Dengan bantuan iblis, beliau bangkit lagi. Dan ternyata, peristiwa kemasukan itu, Aki yang melakukannya. Dia memanggil salah satu setan untuk masuk ke dalam tubuh murid Saya. Beliau juga menghasut para warga agar melarang anak-anaknya berlatih Debus lagi di padepokan. Oh ya, beberapa hari setelah kejadian kerasukan itu, satu persatu murid-murid Saya menderita sakit dan akhirnya meninggal dunia. Nyatanya, itu semua adalah ulah Aki. Beliau mulai mengumpulkan jiwa murid-murid Saya. Dengan begitu beliau bisa memperkuat dirinya. Selain murid-murid Saya, satu persatu adik-adik seperguruan Saya dulu mengalami hal yang sama. Dan dengan begitu, padepokan pun terpaksa Saya tutup", tutur Pak Sasmi,
"Apa Ki Dalang juga ngebunuh istri Bapak dengan maksud yang sama dengan ngebunuh murid-murid juga adik-adik seperguruan Bapak?", tanyaku lagi,
"....Itu ada kaitannya dengan kelanjutan ceritanya...."
"URANG TEU NARIMA!! URANG TEU HAYANG KELUARGA URANG JADI KORBAN KAHAYANG MANÉH!!! (SAYA GAK TERIMA!! SAYA GAK MAU KELUARGA SAYA JADI KORBAN HASRAT KAMU!!!)",
"HAHAHAHAHAHA!!! Lamun kitu kahayang manéh........ (Kalo itu mau Kamu........)", Aki tiba-tiba pasang kuda-kuda silat, "Lawan AING!", selain Debus, Saya juga belajar pencak silat dari Aki. Demi keluarga, Saya terpaksa harus melawan Guru sekaligus sosok yang sudah Saya anggap seperti Ayah Saya.
Kami berdua bertarung sampai titik darah penghabisan. Namun, Saya kewalahan menghadapi Aki yang terlalu kuat bagi Saya. Saat itu, Saya sudah tidak sanggup untuk melawannya lagi. Saya merasa kalau Saya akan kalah dan bisa jadi.....ini adalah hari terakhir Saya. Saya sudah terkapar di tanah dengan kaki Aki di tenggorokan Saya. Beliau mencekik Saya,
"Ngan sakieu, kabisa manéh? Neunggeul AING gé teu bisa SIA mah! AING teu ngajarkeun murid LEMAH KAWAS SIA! (Cuman segini, kemampuan kamu? Mukul SAYA aja gak BISA! SAYA gak ngajarin murid LEMAH KAYAK KAMU!)", Saya masih mencoba untuk melepaskan diri dari cekikan Aki. Tiba-tiba, kertas manuskrip yang Saya bawa terjatuh dari saku baju Saya. Aki mengambil kertas itu,
"Heh, aya didieu gening. Yeuh, Aing béré nyaho manéh. Aing nu ngajarkeun tembang ieu ka si Inah basa mimiti latihan sasarengan téa. Dugi ka manéh boga murangkalih, tembang ieu dinyanyikeun tuluy ku si Inah. Sabenerna....aya harti anu teu ku manéh nyaho...... (Heh,ada disini ternyata. Nih, Saya kasih tau. Saya yang ngajarin tembang ini ke si Inah waktu pertama latihan gabungan. Sampe kamu punya anak, tembang ini terus dinyanyiin sama si Inah. Sebenernya....ada makna tersembunyinya......)", inilah makna sebenarnya dari tembang tradisional itu, "Ieu téh syair kutukan keur sing saha jalma anu nyanyikeun tembang ieu... (Ini adalah syair yang mengutuk siapapun yang menyanyikannya...)"
"Kutukan?",
"Muhun, Saya gé gak percaya Inah malah menyebarkan kutukan pada keluarga Saya. Ternyata, Aki sudah tau jauh sebelum Saya mulai deket sama Inah. Beliau tau kalau suatu saat Saya akan meninggalkannya", jelas Pak Sasmi,
"Sejak kapan Ibu menyanyikan tembang itu?",
"Sejak Enda lahir. Nah, kebetulan Saya baru inget juga", Aku tidak sabar dengan informasi selanjutnya, "Ada satu fakta mengejutkan soal perubahan sifat Inah sewaktu hamil Nani, Dodo dan si kembar. Dan juga, kenapa wajah Nani, Dodo dan Sekar berbeda jauh dengan Saya maupun Inah. Faktanya....Aki menyuruh salah satu jin untuk menghamili Inah",
"HAH?! SERIUSAN PAK?!", Pak Sasmi mengangguk. Aku tak percaya dengan apa yang Aku dengar. Benar-benar diluar dugaan,
"Ooohhh....gitu ternyata...",
"Muhun, terjawab sudah rasa penasaran Saya selama bertahun-tahun. Setelah Aki beritahu Saya soal tembang itu. Dia berencana untuk mendatangi anak-anak Saya. Kemudian, rencana jahatnya akan Dia lancarkan. Setelah itu, Saya pun meregang nyawa. Tapi, Saya tidak tenang. Saya belum bisa menyebrang ke alam lain. Setelah Saya tau kalau Ujang bisa manggil arwah, Saya mohon bantuannya Ujang buat nolongin Saya sama keluarga Saya", pinta Pak Sasmi,
"Insya Allah Saya bantu Pak. Saya juga... udah sering ngebantu 'mereka' yang belum tenang. Saya bantu 'mereka' nyebrang ke alam lain",
"Waduh...hatur nuhun pisan, Jang. Bapak utang budi sama Ujang",
"Iya Pak. Saya juga seneng bisa ngebantu. Oh ya, kelanjutan ceritanya gimana Pak?"






0 komentar:
Posting Komentar